Dahulu, Mohammad Natsir sewaktu masih bersekolah di HIS (Hollandsch Inlandsche School) Solok, beliau sudah memulai belajar bahasa arab di sebuah sekolah diniyah ketika sore hari (Rosidi, 1990: 148). Padahal, beliau waktu itu masih tergolong anak-anak setingkat anak Sekolah Dasar. Persentuhan kembali Natsir dengan bahasa arab didapatkannya sewaktu “nyantri” di Bandung dengan Ustadz A. Hassan, seorang cendekiawan Islam Indonesia terkemuka yang lihai berbahasa Arab dan Inggris. Natsir bersama sahabatnya di AMS (Algemene Middlebare School) Fakhruddin al-Khahiri yang masih berdarah Keling, belajar agama kepada A. Hassan, . Tak jarang, sewaktu A. Hassan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari dua pemuda Islam yang penuh semangat ini, beliau harus memperlihatkan langsung buku-buku dari lemari sebagai sumber keterangan. Seringkali buku-buku yang disodorkan masih dalam bahasa Arab. Tuan Hassan-lah, yang menyarankan mereka berdua untuk memperdalam bahasa Arab, supaya dapat menelusuri langsung sumber-sumber asli (turats) yang masih berbahasa Arab (Rosidi, 1990: 40-42).